Pendakian Pertama Bareng Istri dan Calon Baby di Nglanggeran
Malam ini langit
gelap sedikit mendung. Aku agak khawatir jika turun hujan saat kami melewati
lorong-lorong nanti. Kami berjalan menyusuri jalan setapak dengan agak
was-was. Malam ini entah kenapa begitu sepi. Tangan kiriku memegang senter,
tangan kananku memegang belati Columbia metalic mengkilat, sedangkan istriku
berjalan satu meter di depanku. Di punggung, aku menggendong carrier 80 liter
full muatan. Sesekali aku mendengar suara hewan yang tidak begitu familier
suaranya dari arah semak di sekitar jalan setapak yang kami lalui.
Sebentar-sebentar senter kuarahkan ke semak-semak untuk memastikan tidak ada
apa-apa.
Sejenak kami
berhenti. Di depan kosong, di belakang kosong, di sekitar kami kosong. Kami
tidak bertemu siapa pun di sini, hanya satu dua orang di awal perjalanan.
“Masih jauh nggak,
Mas?” tanya istriku.
“Bentar lagi sampai
Gardu V, lalu puncak pertama, tinggal dekat kok” jawabku menenangkan.
Malam ini malam
minggu, tetapi kenapa sepinya minta ampun. Beberapa waktu yang lalu memang aku
sempat bermalam di sini sendirian, tetapi malam ini aku merasakan kekhawatiran
yang sedikit berbeda. Aku khawatir jika turun hujan lebat sedangkan aku berada
di tengah celah tebing atau saat merayap di lorong sumpitan atau di sela-sela
tebing yang lain.
Ini pendakian pertama
kami setelah menikah. Impian kami mendaki Gunung Prau, tetapi lama tak naik
gunung menjadikan kami memilih Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul,
Yogyakarta sebagai pemanasan sebelum mbolang lagi di tempat yang lain.
Tiba di Puncak
Gunung Api Purba
Nglanggeran memang bukan gunung yang tinggi, tetapi view yang disuguhkan ketika
pagi hari luar biasa indah. Kami sengaja memilih mendirikan tenda di samping
batu besar di bawah puncak agar terhalang dari angin yang dinginnya menggigit.
Malam ini niatan untuk memasak kami urungkan, mata ini sudah sangat lengket dan
tidak mau kompromi. Begitu tenda berdiri, semua barang masuk, tutup rapat lalu
tidur.
Pagi hari subuh, kami
berniat naik ke puncak untuk menyaksikan sunrise tetapi gagal. Pagi ini kabut
tebal sekali dan langit berselimut mendung. Selepas sholat subuh kami menyiapkan
sarapan dan susu hangat.
Setelah mengisi perut
kami naik ke batuan di Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Tiba di atas,
seperti biasa, tempat ini ramai oleh orang-orang yang berharap mendapatkan
sunrise mempesona dari Puncak Nglanggeran. Saya sama seperti yang lain, tidak
mendapatkan sunrise. Matahari muncul di balik awan dalam kondisi yang sudah
terang.
Jangan Menunggu Panas
Gunung Api Purba Nglanggeran bukanlah
gunung yang tinggi, sehingga semakin siang kita berada di atas dijamin makin
panas, tidak ada hawa-hawa dingin ketinggian. Kami mulai membuka camilan lagi
ketika berada di dalam tenda. Mengisi perut hingga kenyang lalu berkemas untuk
melipat tenda lalu packing dan turun.
Sengaja kami tidak turun melewati jalur
turun yang telah disediakan pengelola. Kami lebih memilih untuk kembali
melewati jalur ketika berangkat tadi malam, melewati Lorong Sumpitan yang mirip
dengan lokasi film 127 Hours. Alasannya? Ya, karena jalur yang dibuat untuk
turun adalah melewati jalur ke luar yang endingnya di kebun belakang rumah
penduduk. Saya pernah lewat situ beberapa kali, rasanya, mmm, saya lebih
memilih di penghujung perjalanan menyaksikan taman yang tertata rapi
dibandingkan menyaksikan kebun belakang rumah penduduk. Selain itu memang
sedikit lebih memutar untuk bisa mencapai tempat parkir.
Yei, akhirnya finish di tempat parkir.
Kami istirahat sejenak lalu meletakkan carrier besar di bagian depan motor
Honda Beat yang agak maksa jika harus menampung carrier besar. Kami mengenakan
kacamata hitam lalu perjalanan pulang kembali ke Solo.
![]() |
Abaikan perbedaan jenis sandalnya :D |
![]() |
Yang di sebelah lebih indah daripada sekadar sunrise |
![]() |
Sebelum masuk Lorong Sumpitan lagi |
Comments