Pesona Senja Waduk Lalung
Apa
yang terlintas dalam benak kita saat disebut kata senja?
Sebuah
perjalanan pulang? Keluarga yang sedang menanti di rumah? Pekerjaan hari ini
yang melelahkan, ingin segera merebahkan badan, atau jawaban yang serupa
lainnya? Apa pun itu, senja tetap lah senja. Yang dengan lembut cahayanya mampu
menenteramkan tubuh lelah setelah seharian bekerja.
Berbicara
tentang senja, kita tentu ingat indahnya matahari yang terbenam di garis horison
barat dengan damai. Bagiku, tiap senja selalu punya cerita, tiap senja selalu
ada cinta. Begitu pula yang kurasakan sore ini, di sini, di sebuah waduk kecil
di Karanganyar, Jawa Tengah.
![]() |
Postingan ini diikutkan Lomba Blog Visit Jawa Tengah |
Bisa
dibilang aku seorang pecinta senja, dan caraku mencintainya kali ini dengan
duduk sendirian di tepi air waduk yang tenang, menghadap ke arah barat, menyaksikan
sang mentari yang perlahan tenggelam. Menit-menit yang indah itu terlalu sayang
untuk dilewatkan begitu saja.
Beberapa
tempat telah kujelajahi, baik itu di ketinggian maupun di dataran rendah. Namun
ternyata tempat ini yang paling simpel, tidak jauh dari rumah namun
pemandangannya sungguh indah. Waduk Lalung, Karanganyar, Jawa Tengah.
Mungkin
banyak yang akan bertanya di mana kah Lalung itu? Tempat ini memang tidak
begitu terkenal, bagi penggemar Landscape
masih lebih familier dengan Waduk Cengklik di Boyolali atau Gajah Mungkur di
Wonogiri. Namun di sini, semua menjadi lebih sederhana. Kita hanya perlu datang
dengan motor, menyusuri jalanan berpaving yang ditumbuhi rerumputan di
sekitarnya, kemudian setelah dekat dengan lapangan kecil turun dan mendekat lah
ke air. Maka, padang rumput ini akan bercerita, sepoi angin ini akan bercerita,
ini adalah sejengkal keindahan yang sederhana namun sarat makna.
Secara
koordinat Waduk Lalung berada di titik -7.616974, 110.936855. Bisa dicari
dengan aplikasi GPS baik offline
maupun online. Atau yang paling
simpel dengan tanya ke penduduk Karanganyar, pasti dikasih tau. Tempat ini
tidak jauh dari Kota Karanganyar, cukup mengambil rute dari Taman Pancasila ke
selatan lurus maka kita akan menemukannya di kanan jalan.
Di
tempat ini aku bertemu banyak orang. Mereka para pencari ikan, pehobi
memancing, seorang ayah yang mengajari anaknya keindahan alam dan menangkap
ikan, orang-orang yang menumpahkan keluh kesahnya dalam diam, orang-orang yang
duduk berduaan, terakhir aku sempat banyak berbincang dengan seorang anggota TNI
tentang kehidupan, tentang arti perjuangan, tentang agama, tentang keluarga,
dan yang lainnya.
Kami
menikmatinya. Suasananya sangat tenang, ritme kehidupan seolah melambat di
sini. Dari kejauhan kami masih bisa melihat hiruk-pikuk lalu lintas sore hari,
dari kejauhan. Selepas itu kami menghadap ke barat lagi, menikmati senja.
"Dunia
tak pernah habis kita kejar mas," tutur Pak Wahyudi kepadaku.
"Benar,
pak," jawabku tenang.
Niatanku
memotret banyak pemandangan aku tunda. Senja esok akan kembali, langit berwarna
syahdu itu pasti akan datang lagi, tapi kisah kehidupan sore ini tak mungkin
terulang lagi esok hari. Kami berbincang hingga matahari tepat hampir
tenggelam. Langit sudah sangat berwarna orange, jingga atau mungkin warna
lainnya? Entah lah, aku seorang parsial yang tak mampu menangkap banyak warna.
"Terima
kasih Pak, saya permisi sebentar," pamitku sambil berdiri.
Pemandangan
masih indah, beberapa nelayan berhasil menangkap ikan. Tidak banyak, sekadar
cukup dibawa pulang untuk lauk makan esok hari. Tapi ada kebahagiaan lain yang
dia dapatkan di sini, tidak semata-mata tentang tangkapan ikannya. Tempat ini
memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, nelayan itu, tentara itu, dan juga
aku.
Sore
ini aku tak bawa tripod, karena sebenarnya aku selalu dadakan ketika hendak
mengabadikan senja. Saat langit siang itu berwarna sangat biru dan cuaca panas,
saat di mana siang hari kita merasa silau walaupun sekadar menatap pekarangan
di luar rumah, saat itu lah pertanda bahwa senja sore nanti begitu indah. Tentu
ini bukan sebuah rumus pasti, karena ini adalah tentang rasa, maka kita akan
bisa menangkapnya dengan perasaan pula.
Karena
senja selalu punya cerita. Karena senja selalu punya cinta. Aku mencintainya
sore ini, esok hari, lusa, mungkin selamanya.
Comments