Pendakian Gunung Prau #3
Kopi
dalam genggamanku telah dingin, lebih cepat dari yang kuharapkan. Pun demikian
aku masih saja menyeruputnya sedikit demi sedikit, seolah masih panas. Kopi dan
pemandangan selalu memberikan kesan tersendiri. Aku tidak ingin melewatkannya
begitu saja. Aku hirup dalam-dalam udara dingin ini, melihat sekeliling, lalu
memejamkan mata menikmati angin yang berhembus di antara rerumputan,
menggerakkan dedaunan, mengibaskan flysheet tenda dan berbisik perlahan di
samping telinga.
Selalu ada cinta di alam, entah sendirian atau pun dalam keramaian.
Kadang
aku ingin menuliskan catatan-catatan perjalanan secara langsung di tempat itu
juga, tapi ternyata momen itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Akhirnya hanya
beberapa catatan kecil untuk point saja, bahwa di tempat ini ada hal indah yang
ingin aku ceritakan kelak. Kepada siapa pun yang membacanya, entah dia akan
pergi ke tempat ini atau sama sekali tidak pernah suka naik gunung, bahwa
tempat ini indah.
Jelajah bukit
teletubies
Perut
telah terisi aku mengambil kamera lalu berkeliling, naik satu bukit ke bukit
yang lain. Sekadar penasaran, aku tidak terlalu berharap mendapatkan puncak.
Ternyata apa yang ditulis orang bahwa tempat ini adalah bukit teletubies benar
adanya.
Hamparan
rumput yang hijau merata dengan ada beberapa bukit kecil, mungkin tepatnya
banyak bukit kecil. Jangan pernah cukup berhenti di satu bukit, karena
keindahannya tidak hanya berhenti di situ. Aku berjalan menyusuri jalan setapak
di antara bukit-bukit yang entah jumlahnya berapa sambil kamera tetap terkalung
di leher. Sampai kemudian ketemu satu orang yang mengalungkan 3 DSLR di pundak
dan lehernya, satu dengan lensa tele, satu dengan lensa wide, satu dengan lensa
fisheye – niat banget, dalam batinku.
“Mari…,”
ucapnya padaku.
“Coba
ke ujung sana mas, gak akan kecewa. Prau benar-benar indah mas, dari ujung sana
gunung-gunung kelihatan semua, tebing-tebing berlayer-layer,” tambahnya
menyemangatiku untuk terus berjalan hingga ke ujung.
“Oh
ya, sudah puas dari sana mas?” tanyaku polos.
“Luar
biasa, pokoknya mas harus ke sana!” tegasnya.
Benar,
aku bersama yang lain bergegas ke ujung membuktikan omongan orang yang barusan
ku temui. Dan ini lah, pesona Prau yang paling membuat takjub para pendaki. Ini
belum seberapa, karena ketika musim cerah bisa bakal menikmati sunrise maupun
sunset dengan view yang lebih memukau lagi.
Puas-puasin sampai
awan naik dan kabut turun
Orang
bilang, golden hour untuk pecinta landscape itu ketika matahari terbit dan
satu dua jam sesudahnya. Kalau di gunung, hal ini memang benar, sangat benar.
View terbaik adalah pada jam-jam tersebut. Selebihnya, gunung-gunung di
seberang, tebing-tebing yang tampak tajam mengagumkan mulai hilang, tertutup
kabut, gelap. Jangan sampai kelewat moment untuk memotret di jam tersebut.
Karena seringnya selanjutnya di mana-mana yang kita lihat kabut.
Kita
musti mengubah mood, dari semangat pagi yang cerah menjadi puncak gunung yang
syahdu berkabut. Semua indah. Nikmati lah, karena semua adalah anugerah.
Pulang tersesat
Aku
memang bukan orang yang berpengalaman banyak di gunung, namun aku bersama
orang-orang hebat di alam. Mereka sudah banyak berpengalaman, jauh berbeda
denganku.
Perjalanan
turun ini mengajari kami bahwa sekuat apa pun ingatan kita, alam sangat mudah
mengecoh. Maka dari itu sekali-kali jangan sombong di alam, teguran untuk
diriku juga.
Kami
berangkat dari basecamp Kalilembu, namun turun mengambil jalan –yang menurut
kami kembali ke Kalilembu, namun pada kenyataannya itu menuju basecamp Dieng.
Sudah hampir setengah jalan, terpaksa kami kembali ke atas dan mencari jalur
yang benar. Alhamdulillah, ketemu. Anggap lah ini bonus perjalanan.
Comments